Terhadap pribadi Yesus, saya tidak mempunyai keraguan
tentang pengajarannya. Tentang hukum etis dan moral yang
diajarkannya sungguh bernilai tinggi. Tetapi tentang dosa
asal, tentang Santo dan Santa, tentang silsilah Yesus;
bolehkah semua itu kuanggap tidak penting? Yang penting inti
iman. Sampai aku menjadi Guru Agama, kebimbangan itu
berjalan terus. Yang saya herankan sekarang ialah, apakah
orang yang saya ajar itu tidak bimbang bila saya sendiri
yang mengajar sesungguhnya hatiku juga bimbang. Saya tidak
tahu, dan belum pernah menanyakan kepada katekumers saya
(orang yang aya ajar agama) dan dari mereka saya tidak
pernah menerima pertanyaan itu.
Lebih aneh lagi sebetulnya, kalau aku mengingat bahwa ketika
aku menjadi mahasiswa di Fakultas Pendidikan Kateketik dan
berpraktek Stasi di kota kecil Walikukun, Kabupaten Ngawi
begitu banyak orang yang saya Katolikkan. Cara pendekatan
saya begitu baik sehingga kepada Kepala Desa Mengger, Kepala
Desa Karangbanyu dan Kepala Desa Dirgo (Bau) saya bisa minta
dikumpulkan orang-orang desa untuk saya ajar agama Katolik.
Setelah saya menjadi Guru Agamapun saya boleh dikatakan
sebagai Guru Agama yang berhasil dalam hal meng-Katolik-kan
banyak orang, atau sekurang-kurangaya membuat suatu
masyarakat bernafaskan Katolik. Akhirnya masa tugasku
sebagai Guru Agama kujalani di kota kecil Sumpiuh, Kabupaten
Banyumas dalam Keuskupan Purwokerto. Tempat tugasku hanya
berjarak 5 km dari tempat kelahiranku, Tambak. Di dalam
Injil ada disebut: "Seorang nabi tak dihargai di negerinya,"
walaupun begitu tugasku di Sumpiuh dapat kunilai dan dinilai
orang lain: sukses. Dalam waktu tiga tahun saya di Sumpiuh
saya melayani tiga orang Pastor berturut-turut yaitu: Rama
A. Wahyo Bawono Pr, bekas Letnan Kolonel Kostrad Tituler,
Rama Antonius Willing MSC, Rama H. Obbens MSC. Dengan dua
Pastor yang terdahulu saya bisa bekerja sama dengan baik
tidak pernah ada misunderstanding, tetapi dengan Rama Obbens
keadaannya lain. Tetapi hubungan yang kurang baik antara
saya dengan beliau tidak menjadi alasan yang penting mengapa
saya masuk Islam. Kalau hal itu dianggap sebagai proses yang
mempercepat mungkin boleh, tetapi jika ini dianggap sebagai
penyebab utama tidak mungkin.
Seperti lajimnya keluarga Katolik, lebih-lebih saya Guru
Agama, maka anak yang baru lahir itupun kumintakan baptis.
Ketika aku menyaksikan upacara baptis anakku timbullah suatu
pertanyaan besar: "Apakah betul anakku sudah punya dosa asal
warisan zaman Adam dan Hawa akibat dosa mereka?" Gereja
Protestan memang lebih rationil dalam hal pembaptisan ini,
yang tidak mau membaptis seseorang tanpa kemauan bebas dan
kehendak orang yang bersangkutan.
Seperti halnya kakekku yang meletakkan dasar pada
pendidikanku sehingga seluruh pribadinya sempat mewarnai
juga pribadiku, maka pergaulanku tidak tertutup pada suatu
kelompok masyarakat. Dengan orang Protestan dan Islam saya
banyak bergaul. Dengan pejabat-pejabat setempat selalu saya
memelihara hubungan baik. Tetapi juga dengan kalangan
masyarakat yang diemohi oleh masyarakat saya usahakan
hubungan yang baik. Dengan wanita pelacur saya tidak
segan-segan untuk bergaul dan mengunJungi mereka. Itu semua
kulakukan bersama-sama isteriku bila aku mengunjungi
tempat-tempat pelacuran. Bukan karena isteriku tidak percaya
kepada kesetiaanku, tetapi suara masyarakat yang negatif
hampir tidak pernah saya dengar dengan selalu mengajak
isteri saya bila ke sana.
Di situlah saya berpikir, mengapa Pimpinan Gereja tidak
pernah mempunyai konsepsi dan buah pemikiran untuk wanita P?
Bukankah Kristus memberi contoh dengan membela Maria
Magdalena yang akan dihukum rajam (lempar batu) karena
kedapatan sedang berjina? Yesus dengan kewibawaanya berkata:
"Siapa yang tidak mempunyai; dosa silakan lempar batu
dahulu!"
Kebimbangan itu pada akhirnya sampai pada puncaknya ialah,
mula pertama dengan tidak meyakini peranan Bunda Maria
sebagai perantara manusia kepada Allah Bapa dan Allah
Putera. Jadi imanku Katolik saya kurangi dengan dosaasal,
pembaptisan bayi, peranan Bunda Maria. Bolehlah dikatakan
saya sudah menjadi Protestan secara praktis.
Hal itu memang benar, jika saja proses. itu berhenti sampai
di sini saja. Tetapi proses ini berkembang dengan tidak
meyakini lagi pada diri saya bahwa Yesus itu Allah, walaupun
saya tetap meyakini bahwa Kristus adalah Guru yang baik.
Soal Trinitas dan lain-lainnya dapat Saudara baca pada
bagian karangan saya yang berjudul: "Siapakah Juru Selamat
Dunia?," yang dimuat bersama-sama serial ini. Perlu kiranya
saya tambahkan bahwa buku: "Yesus Kristus dalam Al Quran dan
Mohammad dalam Bibel," karya Drs. Hasbullah Bakri, telah
mendorong saya dan membantu studi tentang masalah ketuhanan
Yesus.
Memang tidak mudah untuk mengambil keputusan terakhir,
lebih-lebih jika ini menyangkut soal iman. Pada studi saya
lebih lanjut disamping saya sampai pada kesimpulan bahwa
Yesus bukan pribadi Allah, sampai juga saya mengimani bahwa
Muhammad itu adalah Nabi Utusan Allah.
Sebetulnya dengan ini saya sudah menjadi orang Islam dalam
batin. Saya seorang yang dalam mengambil keputusan tidak
begitu tergesa-gesa, segi-segi saya pertimbangkan dengan
betul.
Dalam awal tahun 1977, saya pergi ke Lampung menghadap
orang-tuaku untuk mohon doa restu. Keputusanku sudah bulat
pada waktu itu ialah: "masuk Islam." Teringatlah saya akan
sabda Yesus "Carilah dulu Kerajaan Allah dan segala
kebenarannya yang lain akan diberikan sebagai tambahan"
(Mateus 6: 33).
Ujian pertama, ialah kemarahan orang tuaku, ibuku marah
dengan sangat begitu mendengar keputusanku. Saya: pulang
dari rumah ibu dengan hati yang berkeping-keping. Di Jakarta
saya istirahat beberapa hari. Dan akhirnya saya bisa bertemu
dengan Bapak Mollammad Natsir gelar Datuk Sinaro Panjang.
Beliau sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia Pusat. Akhirnya dengan bantuan beliau
saya berkuliah untuk memperdalam Agama Islam pada IAIN
"Sunan Kalijogo," Fakultas Ushuludin Yogyakarta.
Keputusanku masuk Islam kutuangkan dalam Pernyataan didepan
Bapak Syamsuri Ridwan, Kepala Dep. Agama Kab. Banyumas di
Purwokerto disaksikan oleh: AK. Ansori, Somad, Moh. Tohar
BA, tgl. 14 Januari 1977. Perpisahan dengan Gereja Katolik
bukan berarti perpisahan dengan Yesus atau Isa a.s. Guruku
yang pengajarannya kukagumi.
Selamat tinggal Gereja Katolik saya merasa berhutang budi
kepadamu karena engkau telah mendewasakan pribadiku dan
mengembangkannya. Seminggu setelah aku mengambil keputusan
ini, aku masih tetap menangis. Bukan menangis menyesal telah
mengambil keputusan yang engkau anggap salah, namun
perpisahan dengan engkau almamater yang telah sekian lama
aku berkecimpung di dalamnya cukup mengharukan dan
menyedihkan hatiku.
Walaupun pengajaran-pengajaranmu banyak yang tidak kupercaya
lagi namun aku ingin menjadi sahabatmu yang baik, walaupun
aku sudah dalam biduk lain.
Akhir tulisan saya, saya ingin minta maaf kepada para Wali
Gereja Katolik terlebih-lebih Bapa Uskup Alb. Hermelink
Gentiaras SCY, bekas Uskup Tanjungkarang, Mgr. P.S.
Harjosumarto MSC, Uskup Purwokerto, para Pastor yang telah
mengenal saya, sesama rekan Guru Agama dan saudara-saudara
yang beragama Katolik, barangkali saya dianggap telah
mengambil keputusan yang sesat. Namun keputusan itu telah
saya ambil dalam kedewasaan pribadi, waktu yang lama, studi
yang mendalam dan doa kepada Tuhan. Akhirnya saya
mengucapkan selamat tinggal.
Comments
Post a Comment